Dalam sebuah kesempatan, Rasulullah saw. hadir di masjid dan mengimami
shalat. Para sahabat melihat pergerakan beliau antara satu rukun ke satu
rukun yang lain amat sukar dan lambat sekali. Mereka pun mendengar
bunyi menggerutup seolah sendi-sendi pada tubuh Rasulullah saw. bergeser
antara satu sama lain. Setelah selesai shalat, Umar bin Khattab
bertanya, “Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah Anda menanggung
penderitaan yang amat berat. Sakitkah Anda, ya Rasulullah?”
“Tidak, wahai Umar. Alhamdulillah, aku sehat.”
“Ya Rasulullah, mengapa setiap kali Anda menggerakkan tubuh, kami
mendengar seolah-olah sendi bergesekan di tubuh Anda? Kami yakin Anda
sedang sakit…!” desak Umar penuh cemas.
Akhirnya, Rasulullah saw. mengangkat jubahnya. Para sahabat dibuat
terkejut. Perut beliau yang kempis dibaluti sehelai kain berisi batu
kerikil untuk menahan rasa lapar. Batu-batu kecil itulah yang
menimbulkan bunyi-bunyi halus setiap kali manusia mulia ini menggerakkan
badannya.
“Ya Rasulullah, apakah jika Anda menyatakan lapar dan tidak punya makanan, kami tidak akan mendapatkannya buat Anda?”
Beliau menjawab dengan lembut, “Tidak para sahabatku. Aku tahu, apa pun
akan kalian korbankan demi aku. Namun, apa yang harus aku katakan di
hadapan Allah nanti apabila aku sebagai pemimpin menjadi beban umatnya?
Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah dari Allah untukku agar umatku
kelak tidak ada yang kelaparan di dunia ini, lebih-lebih kelaparan di
akhirat.”
Pada lain kesempatan, Umar bin Khattab bercerita, “Aku pernah menemui
Rasulullah saw. yang sedang terlentang di atas tikar. Setelah aku duduk,
kulihat beliau hanya mempunyai satu selimut tanpa yang lain. Tikar itu
meninggalkan bekas menggurat di punggungnya. Aku pun melihat ada gandum
kira-kira segenggam hingga satu sha’ dan daun salam untuk menyamak kulit
di pojok ruangan, juga ada selembar kulit yang sudah disamak. Aku
sangat sedih hingga menitikkan air mata.”
“Apa yang membuatmu menangis wahai Ibnu Khattab?” tanya Nabi saw. ingin tahu.
“Wahai Rasulullah, bagaimana aku tidak menangis. Tikar ini telah
meninggalkan bekas di punggungmu. Lemarimu itu tidak ada yang dapat aku
lihat selain yang ada di depan mataku, sedangkan Kaisar Parsi dan Romawi
berada di antara buah-buahan segar dan sungai jernih yang mengalir.
Padahal, engkau adalah nabi Allah dan hamba-Nya yang paling mulia.”
Rasulullah saw. menjawab, “Wahai Ibnu Khattab, apakah engkau belum rela
kita yang memiliki akhirat sedang mereka hanya memiliki dunia?”
Itulah sekelumit kisah kebersahajaan Rasulullah saw. Beliau sangat
tawadhu dan sederhana dalam makanan, pakaian, dan tempat tinggalnya.
Beliau berpakaian dan menempati rumah sama seperti orang-orang kecil di
sekitarnya: tidak ada kemewahan, glamor, dan simbol-simbol duniawi yang
menandakan tingginya kedudukan beliau di antara umatnya. Padahal,
sejarah mencatat beliau sebagai orang yang memiliki penghasilan besar
untuk ukuran zamannya. Kalau mau, apa pun bisa beliau beli. Selain
pernah menjadi seorang saudagar kaya, Rasulullah saw. pun mendapat hak
atas ganimah atau harta rampasan perang. Allah Swt. telah menetapkan
jatah yang berhak beliau miliki sebagaimana firman berikut.
”Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta
rampasan perang. Katakanlah, ‘Harta rampasan perang itu milik Allah dan
rasul (menurut ketentuan Allah dan Rasul-Nya), maka bertakwalah kepada
Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada
Allah dan Rasul-Nya jika kamu orang-orang yang beriman’.” (QS Al Anfal,
8: 1)
Kalau kita buat kalkulasi dari semua peperangan yang beliau lakukan dan
besarnya ganimah yang didapat, harta yang menjadi hak Rasulullah saw.
sangatlah besar. Sebagai contoh, seperlima harta rampasan perang Hunain
saja (yang menjadi hak beliau) mencapai 8000 ekor domba, 4800 ekor unta,
dan 30 gram perak. Ke mana harta sebanyak itu? Sedikit saja harta yang
sampai ke rumah beliau. Hampir seluruhnya beliau bagikan kepada fakir
miskin dan orang-orang yang lebih membutuhkan. Rasulullah saw. ketika
itu bersabda sebagai berikut.
“Sesungguhnya, harta itu hijau dan manis. Barang siapa mengambilnya
dengan kedermawanan hati, maka akan diberkahi; barang siapa mengambilnya
dengan keserakahan, maka tidak akan diberkahi. (Jika tidak diberkahi,
maka dia) seperti orang yang makan, tapi tidak pernah kenyang. Tangan di
atas (memberi) lebih baik daripada tangan di bawah (diberi).” (HR
Muslim)
Tinta sejarah telah menuliskan bahwa Rasulullah saw. adalah seorang
dermawan sejati. Saat meninggal, beliau tidak meninggalkan warisan
apa-apa untuk keluarganya, selain beberapa potong pakaian yang tidak
baru lagi dan sebuah baju besi yang dijaminkan kepada seorang Yahudi.
Rasulullah saw. seringkali kelaparan, sebagaimana dikisahkan pada bagian
awal tulisan ini. Andaikan beliau makan, jumlah makanan yang beliau
konsumsi sangat sedikit dan sederhana pula. Kelebihannya beliau
sedekahkan kepada ahlu shuffah dan orang-orang miskin. Beliau tidak
berpakaian kecuali dari bahan kasar dan murah harganya. Beliau tidak
tidur kecuali dialasi pelepah daun kurma yang dimodifikasi menjadi
kasur. Beliau sangat takut apabila di rumahnya tersisa sedikit saja
harta yang belum dibagikan.
Abu Dzar pernah berkisah bahwa suatu hari dia berjalan bersama
Rasulullah saw. di sebuah tanah lapang di Madinah hingga di hadapan
keduanya terlihat Jabal Uhud. Setelah menyapa Abu Dzar, Rasulullah
bersabada sebagai berikut.
“Tidak akan pernah membuat senang memiliki emas seperti Jabal Uhud ini,
jika sampai melewati tiga hari dan aku masih memiliki satu dinar kecuali
yang aku gunakan untuk melunasi utang. Jika aku memilikinya, pasti akan
aku bagi-bagikan semuanya tanpa sisa dan aku katakan kepada hamba-hamba
Allah begini, begini, begini (beliau mengisyaratkan arah kanan, kiri,
dan belakangnya)’.” (HR Bukhari dan Muslim)
Tidak berlebihan kiranya jika Abdullah bin Abbas, putra pamannya,
mengatakan bahwa tidak ada orang paling dermawan yang pernah dia temui
selain Rasulullah saw. Pada bulan Ramadhan lebih dahsyat lagi.
Kedermawanan beliau bagaikan angin berembus karena sangat mudahnya
beliau bersedekah.
“Rasulullah saw. adalah manusia paling dermawan. Puncak kedermawanannya
terjadi pada bulan Ramadhan ketika Jibril mendatangi beliau… Sungguh,
Rasulullah saw. lebih dermawan dan pemurah dengan kebaikan seperti angin
yang berembus.” (HR Bukhari Muslim)
Tidak hanya harta benda, semua hal yang layak diberikan dan beliau
miliki, pasti diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan. Memberi dan
terus memberi tanpa mengharap kembali, itulah Rasulullah saw., nabi kita
semua.
Rabi’ binti Ma’udz bin ‘Urfa pernah berkisah bahwa suatu ketika ayahnya
mengutus dia membawakan satu sha’ kurma basah dan mentimun halus untuk
dihadiahkan kepada Rasulullah saw. Beliau memang sangat menyukai
mentimun. Kebetulan, saat itu ada utusan yang mengirim hadiah berupa
perhiasan emas yang banyak dari Bahrain. Ketika melihat Rabi’,
Rasulullah saw. segera mengambil emas-emas itu hingga telapak tangan
beliau dipenuhi emas. Apa yang terjadi? Di luar dugaan Rabi’ binti
Mu’adz, beliau memberikan emas-emas tersebut kepadanya.
“Maka beliau memberikan perhiasan atau emas sepenuh telapak tanganku,
lalu bersabda, ‘Berhiaslah engkau dengan ini…!’” (HR Ath Thabrani dan
Ahmad)
Atas akhlak Rasulullah saw., William Moir, seorang pujangga asal
Perancis, mengungkapkan kekagumannya pada pribadi Rasulullah saw.
“Sederhana dan mudah adalah gambaran hidupnya. Perasa dan adabnya adalah
sifat yang paling menonjol dalam pergaulan beliau dengan pengikutnya
yang paling rendah sekalipun. Tawadhu, sabar, penyayang, dan
mementingkan orang lain lagi dermawan adalah sifat yang selalu menyertai
pribadinya dan menarik simpati orang-orang di sekitarnya.
“Wahai anak Adam,
sesungguhnya jika engkau memberikan kelebihan hartamu,
itu sangat baik bagimu. Jika tidak, itu sangat jelek bagimu.
Engkau tidak (akan) dicela karena kesederhanaanmu.
Dahulukanlah orang yang menjadi tanggunganmu.
Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.”
— HR muslim —
Tidak ada komentar:
Posting Komentar